Perjalanan kali ini akan menjadi perjalanan yang bersifat pribadi bagi saya. Setelah melalui hari ‘demam sepanjang malam’ dengan menyenangkan di Puncak Jaya, kini tiba saatnya saya harus pulang kampung. Iya, setelah menunggu selama lima tahun akhirnya saya bisa pulang ke Raja Ampat, Papua Barat.

Bukan apa-apa. Tahun 2011 lalu, saat saya masih menjadi seorang mahasiswa ‘idealis’ saya berkesempatan melakukan pengabdian masyarakat di Pulau Sauwandarek dan Yenbekwan, Distrik Meos Mansuar, Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Papua Barat.

Selama kurang lebih dua bulan berada di pulau membuat saya terlalu berani untuk berjanji kepada Semesta bahwa saya akan kembali lima tahun lagi. Jelas-jelas saya tidak punya urusan dengan Semesta pada saat itu. Bisa dikatakan saya hanya bergumam tanpa arah, tapi mungkin saat-saat tidak disadari seperti itu, Semesta menangkap dan menyimpannya. Jadilah itu mungkin sebuah janji, yang mana harus ditepati.

Ternyata, tibalah di tahun 2016 ini, tepat lima tahun setelah janji itu terucap, saatnya untuk menepatinya. Saya sedang menuju perjalanan ke Waisai, ibukota kabupaten Raja Ampat. Sebelumnya, saya sudah berjumpa dengan sahabat saya, yang lima tahun lalu mungkin menjadi saksi hidup diikrarkannya janji ‘untuk kembali’ itu.

Namanya Rima. Kami kuliah di kampus yang sama, tapi jurusan berbeda. Dia mengambil jurusan Hubungan Internasional yang kemudian dia sadari tidak terlalu cocok baginya bila dibandingkan dengan Sosiologi, sedangkan saya jurusan Ilmu Komunikasi dengan harapan bisa menjadi seorang penulis atau wartawan yang tulisannya dibaca oleh banyak orang.

Kali ini, kepulangan saya ke Raja Ampat membawa misi yang berbeda. Tentunya bukan untuk jalan-jalan ke wayag atau menuju tempat wisata lainnya, yang kemudian tanpa saya sadari saya diberikan kesempatan untuk mengunjungi lokasi-lokasi tersebut secara tidak terduga. Walaupun mungkin ada terbersit dalam pikiran saya untuk bisa bertemu Manta di sini. Sekedar untuk menyampaikan salam dari rombongan Manta yang ada di Flores. 😀

Jadi, saya datang untuk melakukan sebuah misi, yaitu membangun perpustakaan anak-anak. Belakangan ini, Taman Bacaan Pelangi sedang giat bekerja untuk memperbanyak perpustakaan di Papua. Bukan hanya mendirikan satu perpustakaan, tapi dua perpustakaan.

Awalnya saya berpikir kami terlau ambisius dalam hal jumlah, tapi seiring berjalannya waktu, melihat orang-orang baik yang sangat banyak membantu, misi ini pun tidak terlalu sulit pada akhirnya. Dua perpustakaan bisa diresmikan di Waisai, yaitu di SDN 25 Moko, sekitar 10 menit naik motor dari pusat kota, tapi sinyal sudah terbatas dan di SDN 2 Waisiai, sekolah dasar paling besar dan tua di Waisai.

Delvin sedang bercerita MOP, cerita humor khas Papua
Delvin sedang bercerita MOP, cerita humor khas Papua

Kami merasa sangat beruntung karena orang-orang yang kami temui begitu baik hati dan tidak sungkan menolong. Kendala transportasi yang tadinya selalu jalan kaki dan merasa terlalu boros naik ojek akhirnya bisa diatasi oleh Bapak Mambraku yang meminjamkan motornya secara cuma-cuma.

Kendala penginapan yang tadinya merasa boros karena tunggakan tidak kunjung turun, akhirnya bisa diatasi oleh Tante Zhally Mambrasar yang menawarkan kami untuk tinggal di rumahnya. Siang itu, saya merasa ditodong dengan kejutan demi kejutan yang membuat saya tidak bisa berkomentar apapun. Rima pun sama, dia tidak bisa berkata apapun lagi.

Bertemu dengan kepala dinas pendidikan, ibu Martha juga sangat mengesankan melalui Tante Sally yang selalu dengan sabar menjawab kegundahan dan kekonyolan saya. Dan melalui ibu kepala dinas, saya bisa berjumpa dengan Bupati Raja Ampat yang ternyata beristrikan orang Batak. Bagaimana tidak, saat selaman, beliau dengan yakin menebak saya adalah orang Batak.

Melalui Bapak Syaiful Sangaji, kami menemukan akses untuk mengontak kepala sekolah SDN 2 Waisai yang tadinya lumayan sulit dihubungi, ternyata saat itu beliau sedang sering sakit. Beliau juga sempat kerepotan mencari rumah untuk tempat tinggal kami. Bagaimanapun usaha beliau sangat membantu selama proses, bahkan beliau juga bersedia menjadi tempat curhat ketika bingung memilih opsi tertentu.

Perpustakaan SDN 2 Waisai
Perpustakaan SDN 2 Waisai

Bapak Herman Soor, yang sudah seperti Om sekaligus kakak tertua sangat membantu bukan saja untuk kelancaran proses di dinas pendidikan, bahkan juga urusan perut. Kalau sedang kelaparan saya akan datang ke beliau dan akan diberi makanan. Hahahah… saya memang tukang lapar.

Bapak Inda Arfan dan Bapak Samuel Belseran yang dalam masa pensiunnya pun masih mau direpotkan oleh anak-anak muda ini. Terima kasih bapak. Semoga sehat selalu.

Setelah melalui proses yang lumayan panjang dan menyenangkan, akhirnya perpustakaan di SDN 25 Moko dan SDN 2 Waisai pun diresmikan. Semua pihak mulai dari kepala sekolah, guru, dan anak-anak bergembira dengan cara mereka masing-masing.

Berfoto bersama guru-guru SDN 25 Moko
Berfoto bersama guru-guru SDN 25 Moko
Berfoto bersama di depan perpustakaan SDN 2 Waisai
Berfoto bersama di depan perpustakaan SDN 2 Waisai

The British Community Committee turut mendanai perpustakaan di SDN 2 Waisai, dan Ibu Rachel Malik, istri duta besar Inggris untuk Indonesia turut hadir untuk meresmikan perpustakaan secara langsung. Peresmian kedua perpustakaan ini diadakan di hari yang sama. Pada pagi hari diadakan di SDN 25 Moko, dan siang hari diadakan di SDN 2 Waisai. Walaupun siang itu hujan, tidak menyurutkan kegembiraan anak-anak untuk merayakan perpustakaan mereka yang hadir dengan wajah yang baru.

13235416_1017284425020400_6849840681035320860_o

Sampai saat ini, Taman Bacaan Pelangi telah mendirikan 39 perpustakaan anak-anak di penjuru Indonesia Timur dan kami belum berhenti bekerja. Kami masih akan menjangkau anak-anak di pelosok negeri ini untuk bisa mendapatkan perpustakaan yang menyenangkan dan kaya akan wawasan.

Murid SDN 25 Moko sedang bergoyang
Murid SDN 25 Moko sedang bergoyang

Dua pelangi yang kini menghiasi Waisai juga tidak akan berhenti memberikan warna-warni. Kepulangan saya kali ini sungguh menjadi masa yang sangat berharga dalam hidup saya. Kedua pelangi ini tidak akan hanya mewarnai Waisai, tapi akan sampai ke pulau-pulau lainnya di Raja Ampat.

Saya masih ingat perkataan kepala dinas pendidikan kabupaten Puncak Jaya yang berkata “Sekali pelangi sudah menyentuh jantung papua (Puncak Jaya), maka pelangi akan menjalar ke seluruh urat nadi Tanah Papua.”
Saya selalu merinding dan terharu setiap kali mengingat perkataan itu.

Kalimat itu menjadi penyemangat untuk tidak berhenti memberikan kegembiraan sederhana kepada anak-anak. Kegembiraan yang mewarnai kehidupan masa kecil mereka melalui buku cerita dan perpustakaan yang menyenangkan.

Tapi, saya harus pergi dulu. Pergi untuk kembali lagi ke sana. Ke Tanah Papua.

Labuan Bajo, 14.7.2016
Monik