Puluhan sepatu nampak berderet rapi di ujung tembok perpustakaan. Di dalam ruangan, siswa kelas 3B sedang mengikuti kegiatan membaca lantang bersama gurunya. Seperti biasa, perpustakaan ramah anak SDI Laipori, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur dukungan program INOVASI selalu rapi dan bersih. Di depan perpustakaan nampak tempat cuci tangan juga tempat sampah.

Tentu saja, ada beberapa yang telah diajarkan kepada semua anak maupun guru sendiri untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan demi keberlanjutan perpustakaan, misalnya: “tinggalkan makanan dan minuman di luar” atau “hati-hati saat membalik halaman buku dan lakukan dengan tangan yang bersih”. Nah, lantas apakah serta-merta aturan ini langsung bisa diikuti? Apa saja cerita di balik perpustakaan yang tampak menyenangkan ini?

Rabu 28 Agustus 2019, di penghujung Agustus yang kering dan bedebu ketika semua tanaman dan bangunan nampak kusam, saya berkunjung ke SDI Laipori. Letak sekolah ini cukup unik karena berada di bukit berbatu karang sementara beberapa kilometer di depannya terlihat laut biru dengan pantai putih yang sangat cantik. Kemarau tidak membuat halaman sekolah berdebu karena mereka punya sumur bor yang digerakkan oleh tenaga surya. Semua tanaman nampak tetap terpelihara dan sekolah tetap bersih dari sampah dan debu.

Siang itu saya bertemu dengan Ibu Yumiati Nina Kana yang kerap dipanggil Ibu Ina, pustakawati SDI Laipori yang sangat luar biasa. Perempuan berdarah Sabu ini menyambut saya dengan ramah. Setelah mempersilakan saya masuk, beliau nampak sedang bertanya sesuatu kepada siswa kelas 3B yang saat itu sudah selesai melakukan jam kunjung. “Siapa yang bawa biskuit adi? Kan, Ibu sudah kasi tau waktu itu kasi tinggal jajan di luar, simpan di tas”. Seorang anak perempuan terlihat malu-malu memegang sakunya. Oh, rupanya dia yang membawa biskuit. Saya sendiri tidak melihat remah-remah biskuit di atas karpet karena masih banyak anak-anak. Lalu dengan cekatan Ibu Ina mengambil sapu dan membersihkan ruangan. Setelah itu, ia mendekati anak perempuan tersebut seraya memberitahu: “Lain kali adi ingat e, nanti kalo adi makan biskuit di sini baru itu biskuit jato semut datang sudah banyak-banyak, gigit semua sama kamu, kasian to kamu gatal-gatal?”.

Suasana kegiatan membaca berpasangan siswa kelas 3B

Tidak sampai disitu, saya juga kemudian penasaran dengan bantal duduk yang diberi lapisan plastik tipis. Dan ketika saya bertanya, Ibu Ina menjelaskan bahwa itu adalah cara agar bantal tidak cepat kotor dan rusak.”Beberapa kali saya perhatikan, bantal tidak hanya di pakai duduk kakak, kadang-kadang mereka pakai injak, tali-talinya suka di tarik. Jadi saya takut robek,nanti mereka tidak ada bantal buat duduk lagi. Saya minta ijin Mama Kepala Sekolah untuk lapis dengan plastik, beliau setuju bahkan beliau dan teman-teman guru bantu carikan plastik bekas untuk kami bungkus bantalnya”.

Di sela-sela kami mengobrol, datanglah Ibu Ata, seorang guru pendamping kelas 6 yang selama ini ditugaskan Mama Kepala Sekolah untuk membantu Ibu Ina di perpustakaan. Ibu Ina dan Ibu Atalah yang selalu siaga di perpustakaan untuk melayani anak-anak saat guru berhalangan hadir di jam kunjung sehingga kegiatan membaca selalu berjalan sesuai dengan jadwal. Sejak bulan masuk tahun ajaran baru di bulan Juli sampai dengan akhir Agustus 2019 telah tercatat 31 kali kegiatan membaca untuk kelas 1-6 dan sejauh ini semua guru aktif melakukan jam kunjung. Sedangkan untuk peminjaman buku periode Juli-Agustus tercatat 702 buku yang telah dipinjam.

Suasana saat jam kunjung di perpustakaan SDI Laipori

“Kak, sekarang kami juga buat kesepakatan, sebelum anak-anak masuk perpustakaan kami periksa kuku dan jika ada yang kukunya panjang segera kami gunting. Biar aman saja pas mereka buka buku, plastik bantal tidak mudah sobek, sekalian bagian dari kebersihan tubuh mereka” kata Ibu Ata pada saya.

Sama seperti sekolah lainnya, ada berbagai tantangan yang dihadapi oleh SDI Laipori dalam meningkatkan literasi anak leawat perpustakaan, tetapi sejauh ini saya melihat komitmen sekolah yang sangat kuat dan kerjasama semua pihak di dalam dan luar sekolah, perlahan-lahan mulai membuahkan hasil.

Saya tidak menyangka, bahwa saya akan belajar banyak hal tentang perpustakaan dari SDI Laipori. Lihat saja bagaimana mereka membagi jam peminjaman buku saat istirahat sehingga anak-anak tidak perlu mengantri lama, dimana untuk jam istirahat pertama peminjaman dikhususkan bagi siswa kelas 1-3 dan istirahat kedua bagi siswa kelas 4-6. Atau bagaimana Ibu Ina membuat strategi agar anak-anak tidak bosan dengan buku yang akan dibaca saat kegiatan membaca. “Buku-buku untuk kegiatan membaca lantang tidak saya pajang dulu di rak, setelah buku dibaca oleh guru dan siswa barulah buku saya pajang. Dan saya juga terlibat penuh saat guru memilih buku untuk kegiatan membaca, saya selalu ingatkan untuk judul-judul buku yang sudah dibaca biar anak tidak bosan” jelas Ibu Ina pada saya.

Disini juga saya menemukan guru-guru yang senang berdiskusi, mereka selalu cair saaat meminta pustakawati maupun rekan guru lainnya memberikan masukan untuk kegiatan membaca yang sudah dilakukan. “Ini tempat untuk kami guru dan anak-anak bersenang-senang setelah pusing dengan pelajaran di kelas. Mereka yang selalu ingatkan kami untuk masuk perpustakaan ketika jam kunjung” demikian menurut Ibu Ita guru kelas 4. Dalam pengalamannya, kadang Ibu Ita harus menegur anak-anak karena membaca buku saat jam pelajaran. “Jika mereka sudah kerjakan tugas dan teman lain masih lama maka jika mereka bosan menunggu mereka kadang keluarkan buku yang sudah dipinjam dari perpustakaan. Bahkan sambil berjalan pulangpun mereka tetap heboh baca buku di jalan”.

Dari hasil mengobrol dengan beberapa guru, saya mendapatkan cerita menarik tentang bagaimana kegiatan perpustakaan berdampak pada pelajaran lain di kelas. Misalnya ketika ada pelajaran Bahasa Indonesia dan mereka diharuskan membaca paragraf secara bersama maka secara otomatis anak-anak akan mengikuti cara membaca yang mereka lakukan dalam kegiatan membaca bersama di perpustakaan. Atau untuk pelajaran IPA, PKn ketika mereka diminta melihat sebuah gambar dan bercerita tentang gambar tersebut maka mereka dapat dengan cepat dan lancar bercerita tentang apa yang dilhatnya.”Menurut saya, sekarang kosakata anak sudah lebih banyak juga mereka cepat paham alur cerita, semakin bisa menganalisa informasi juga”kata Ibu Ita.

Saya semakin kagum, dalam perjalanan implemetasi perpustakaan ini, sekolah menemukan sendiri berbagai strategi sederhana untuk menjadikan perpustakaan sebagai tempat membangun kebiasaan membaca pada anak.

Kegiatan membaca mandiri siswa kelas 4

 

Pendokumentasian Sebagai Bagian Dari Keberlanjutan

Sejak diresmikan bulan April 2019, Ibu Ina selalu rajin mendokumentasikan semua kegiatan di perpustakaan dalam bentuk foto dan video. Saya sering sekali dapat kiriman foto dan video kegiatan yang sangat membantu saya untuk melihat perkembangan implementasi perpustakaan ramah anak ini karena tidak setiap hari saya bisa ke sekolah (mendampingi program perpustakaan di sekolah lain dukungan Taman Bacaan Pelangi).

“Bulan Juli lalu kami kedatangan guru baru, saya sudah beri orientasi tentang pengelolaan perpustakaan. Kalau untuk yang jam kunjung, ada video kegiatan membaca yang kami buatkan sehingga guru baru bisa langsung lihat bagaimana caranya dan sekarang beliau sudah langsung bisa aktif lakukan jam kunjung” jelas Ibu Ina penuh semangat. Semangat yang kemudian membuahkan hasil, kabarnya di bulan September nanti Ibu Ina akan diwisuda sarjana setelah menempuh pendidikan keguruan di Universitas Terbuka. Ibu Ina adalah guru honor komite (non PNS), yang menerima gaji setiap 3 bulan sekali tetapi telah setia melayani di dunia pendidikan selama 7 tahun.

“Sekarang kami sudah beli flashdisk khusus untuk simpan foto dan video kegiatan perpustakaan biar memori handphone guru-guru tidak cepat penuh. Jadi begitu habis kegiatan, foto dan video langsung diberikan ke operator untuk disimpan. Ini juga penting untuk kami, supaya jangan kami bicara-bicara saja ada kegiatan perpustakaan tetapi ketika diminta menunjukkan bukti kami tidak punya” demikian menurut Ibu Mery Herlianis Lay selaku Kepala Sekolah SDI Laipori. Beliau adalah sosok yang harus saya ancungi jempol karena secara bijaksana telah memimpin guru-guru yang sebagian besar masih muda. Di sela-sela padatnya tugas, beliau selalu menyempatkan untuk mengecek kegiatan perpustakaan, memastikan bahwa guru-guru melakukan jam kunjung bukan sebagai rutinitas saja tetapi karena merasakan manfaatnya untuk diri sendiri, untuk anak, untuk sekolah bahkan masyarakat luas.

Ibu Mery, Kepala SDI Laipori dan Ibu Ina Pustakawati SDI Laipori

Beberapa waktu lalu ketika masih bergabung di sebuah lembaga yang fokus pada pertukaran pengetahuan, saya telah belajar tentang pentingnya proses pendokumentasian baik secara online maupun offline, dalam bentuk diskusi, foto, video, cerita, buku, artikel bahkan film bagi kegiatan-kegiatan pemberdayaan seperti ini. Ini merupakan cara untuk “mengekalkan” berbagai pengetahuan agar nantinya dapat disebarluaskan untuk menjadi inspirasi dalam menjawab berbagai persoalan pembagunan, khususnya yang terkait dengan pendidikan, misalnya literasi.

 

Pelan-pelan Orang Tua Mulai Ikut

Lingkungan literasi yang baik tidak hanya tercipta di sekolah tetapi juga di rumah bahkan di lingkup masyarakat. Sejauh ini ketika saya mencoba menggali informasi dari anak-anak kelas 3 dan 4 yang saya temui saat jam kunjung hari itu. Beberapa anak mengaku bahwa mereka membaca sendiri buku yang mereka pinjam tetapi ternyata beberapa anak juga bercerita bahwa mereka membaca buku bersama orang tua, kakak, adik. Tentu saja ini berita baik. Awal yang baik. Walaupun belum sempurna namun perlahan dan pasti semua komponen SDI Laipori mulai menunjukkan komitemen baik bagi masa depan anak-anak tercinta.

 

Wenda Radjah

31 Agustus 2019