Sekolah Dasar Katolik Rekas 1 adalah salah satu sekolah katolik tertua di Kabupaten Manggarai Barat. Dibangun pada tahun 1912 oleh seorang Missionaris dari Eropa. Sebelah sekolah ini berdiri gereja katolik megah berarsitektur khas Eropa. Tahun ini SDK Rekas 1 merupakan salah satu dari 12 sekolah terpilih di Manggarai Barat yang menjadi mitra pengembangan perpustakaan ramah anak dan menyenangkan bersama Taman Bacaan Pelangi. Masuk ke dalam sekolah ini langsung disuguhi dengan suasana yang religius dan harmonis. SDK Rekas 1 tidak hanya menerima siswa yang beragama katolik tetapi semua agama seperti Islam, Budha dan Hindu. Seperti sekolah – sekolah di Manggarai Barat pada umunya yang menerapkan prinsip “Unity in diversity”dalam praktek pendidikan nya.

Hari kamis pagi, saya berkunjung ke SDK Rekas 1 untuk melakukan Support and Monitoring. Sesampainya di sekolah, saya disambut Ibu kepala sekolah dan para guru. Tiba – tiba kepala sekolah membujuk saya untuk mengajar di kelas 6. Saya dan kepala sekolah memang sering bercerita dan berdiskusi tentang pengalaman mengajar. Beliau tahu kalau saya pernah mengajar di salah satu sekolah dasar terpencil di Sulawesi Barat. Kebetulan, pada waktu itu guru kelas 6 sedang menyiapkan makan siang untuk kami makan bersama – sama sepulang sekolah.

Kita tepuk Semangat dulu biar semangat anak – anak!

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sudah hampir setahun saya tidak berdiri di depan kelas dan bertemu dengan para generasi emas bangsa ini. Perasaan kikuk dan grogi bercampur menjadi satu. Ternyata senjata pamungkas berupa signal “tepuk semangat” dan “ice breaking” telah mencairkan suasana dan menjadikan saya menjadi guru seutuhnya. Anak – anak sangat antusias untuk mengenal saya lebih dekat dengan bertanya tentang asal daerah, makanan kesukaan, hobi bahkan agama yang saya anut yaitu Islam. Saya pun bertanya tentang harapan dan cita-cita mereka di masa depan.

Salah seorang siswi bercerita tentang cita-cita nya sebagai seorang guru di masa depan.

Tidak terasa dua jam saya berdiri di depan kelas. Kami berinteraksi, berdiskusi, dan tertawa bersama. Bel sekolah sudah berbunyi dan itu tandanya sudah saat nya untuk bersiap pulang. Sebelum pulang marilah kita berdoa dan anak – anak mengamini. Bapak akan memimpin untuk berdoa agar kita semua diberikan perlindungan saat pulang dan apa yang kita pelajari hari ini akan menjadi benih ilmu yang bermanfaat untuk bangsa ini kelak di masa depan. Saya memimpin berdoa “Berdoa menurut keyakinan kita masing – masing dipersilahkan”. “Berdoa selesai” aku mengakhiri. Anak – anak berdoa dengan khusyuk dan tidak mempermasalahkan siapa yang memimpin doa. Tiba – tiba ada salah satu anak mengangkat tangan sambil berkata “Bapak, nekarabo” Dalam bahasa Manggarai artinya jangan marah atau dalam konteks bahasa Indonesia seperti mohon maaf. “Iya nak ada apa? Tanyaku. “Saya belum selesai berdoa, bolehkah saya meneruskan doa saya kepada Tuhan” Jawabnya. “Boleh sekali. Silahkan melanjutkan untuk berdoa” Jawabku.

Pengalaman pertama menjadi guru”dadakan” di sekolah Katolik menjadikan saya belajar jika toleransi itu bukan hanya dipelajari dalam buku teks tetapi juga harus dialami. Mengajar itu candu dan saya ketagihan untuk mengajar lagi di sekolah – sekolah di pelosok Flores.

 

 

Novia Debi Wicaksono

Flores, Februari 2017.