Penghujung Januari 2019, menjelang tahun baru Cina di 5 Februari, cuaca di Sumba Timur sedang berubah-ubah cepat dengan dominasi hari-hari berangin kencang. Kondisi ini tidak menyurutkan semangat guru-guru di SDI Laipori dan SDN Mondu untuk mengikuti “Pelatihan Pengelolaan Perpustakaan dan Jam Kunjung Perpustakaan” yang dilaksanakan oleh Taman Bacaan Pelangi (TBP) dan didukung oleh INOVASI. Sekitar 31 guru (25 perempuan dan 6 laki-laki) terlibat dalam kegiatan ini.

Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas seluruh guru di sekolah (bukan hanya pustakawan) terkait pengelolaan perpustakaan ramah anak serta berbagai kegiatan membaca yang dapat dilaksanakan oleh guru saat jam kunjung perpustakaan. Dengan adanya workshop ini, diharapkan pemanfaatan perpustakaan sekolah menjadi lebih optimal dibandingkan sekadar menjadi ruang penyimpanan buku atau bahkan gudang di sekolah.

Untuk masing-masing sekolah kegiatan berlangsung 10 hari, 5 hari untuk sesi Pengelolaan Perpustakaan dan 5 hari untuk sesi Jam Kunjung Perpustakaan, yang dilaksanakan setelah jam pulang sekolah, pukul 13.00 – 16.15 Wita. Tentu saja jika merujuk ke kalender pendidikan, bulan Januari- Februari sekolah sedang disibukkan dengan kegiatan “Try Out Ujian Nasional” dan les tambahan bagi siswa kelas 6 dan kegiatan ulangan mid semester bagi siswa kelas 1-5, namun berkat komitmen tinggi semua guru dan kepala sekolahnya kegiatan dapat berjalan dengan sangat baik.

Awalnya Bapak Anderias Kaleka, selaku Kepala SDN Mondu sempat menyampaikan kegelisahan terkait dengan penggunaan bahasa daerah. “Anak-anak kami masih banyak yang belum bisa baca dan juga belum bisa berbahasa Indonesia, begitu juga dengan orang tuanya. Bagaimana nanti jika mereka harus dipinjamkan buku? Mereka tidak bisa baca, orang tua juga tidak!” jelas Pak Ande.

Dalam kesempatan ini, hadir Ibu Nila Tanzil selaku founder/CEO TBP yang berkesempatan berbagi tentang sejarah berdirinya TBP dan membawakan sesi membaca lantang. “Semua anak berhak meminjam buku Pak Ande. Di Perpustakaan ramah anak ini, yang kita kembangkan adalah kebiasaan membaca bukan ketrampilan membaca jadi tidak ada soal benar salah.

Kita tumbuhkan saja dulu lingkungan yang membuat mereka nyaman dengan buku. Jika tidak bisa baca atau tidak bisa berbahasa Indonesia, minimal mereka sudah bisa lihat-lihat gambar dan membangun imajinasi sendiri tentang gambar. Mungkin orang tuanya justru bisa ikut menjelaskan gambar dalam bahasa daerah dan membantu anak untuk paham dengan cerita” tegas Ibu Nila.

Di tengah panjangnya hari-hari pelatihan, sebagai staf TBP yang baru, saya mendapatkan banyak sekali cerita yang menjadi inspirasi. Di SDI Laipori, saya mengenal seorang guru muda honorer bernama Ibu Tabita Lape atau yang akrab disapa Ibu Ita. Saat sesi praktek membaca lantang untuk anak kelas 1 di Perpustakaan, Ibu Ita membacakan buku berjudul “Cepatlah Bello” dengan intonasi dan ekspresi yang sangat menarik dan hal itu terus saya ingat. Ketika tiba saatnya saya membawakan sesi membaca bersama untuk guru-guru di SDN Mondu, saya justru mengikuti gaya Ibu Ita.

Lain lagi cerita tentang Ibu Dwiyani Kote di SDI Laipori juga, beliau menggunakan konteks lokal ketika harus mengaitkan gambar pada sampul buku “Titu dan Tuti” dengan kehidupan anak dalam sesi praktek membaca bersama dengan anak-anak kelas 3. Dimana ketika anak-anak mengatakan bahwa makanan tikus adalah keju maka Ibu Dwi mengarahkan mereka untuk berpikir apakah di Laipori ada keju? Lalu anak-anak menjawab bahwa di Laipori yang ada hanya jagung, beras bahkan pakaian dan mereka lebih sering melihat tikus di rumah mereka makan pakaian dan beras.

Menurut saya, cara Ibu Dwiyani menurunkan cerita ke konteks lokal sangatlah menarik. Ini menjadi penting sebab semua buku yang diberikan oleh TBP ke perpustakaan ditulis oleh orang di luar Sumba bahkan di luar Indonesia dengan latar belakang sosial budaya, dan lain-lainnya berbeda sehingga tidak semua bisa serta merta bisa langsung sesuai dengan apa yang dilihat dan alami anak sehari-hari sehingga perlu dibangun sebuah “jembatan” yang dapat mengantar mereka untuk paham cerita seutuhnya.

Di SDN Mondu juga ada cerita menarik, awalnya guru-guru kesulitan ketika harus membaca dengan intonasi dan ekspresi yang diminta dalam cerita. “Kami masih kaku ini, sekian lama kami tampil mengajar di depan anak dengan gaya yang formal dan tiba-tiba kami harus berekspresi lucu, sedih, gembira, kami jadi malu sendiri” ungkap Bapak Franky guru kelas 1. Tetapi nyatanya ketika sesi praktek semua bisa membaca dengan ekspresi dan intonasi menarik untuk menghidupkan isi cerita.

 

Waingapu, 27 Februari 2019
Wenda Radjah