Terbang sejauh 2.263 km dari Jakarta ke arah timur Indonesia. Berhenti sejenak di Denpasar dan Labuan Bajo. Menjajal pesawat baling-baling untuk pertama kalinya. Mendarat di Bandar Udara H. Hasan Aroeboesman. Dan disinilah Aku. Di pesisir selatan Pulau Flores. Di Kota Ende, ibu kota Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Hari-hariku dipadati dengan kunjungan ke sekolah-sekolah dasar mitra Taman Bacaan Pelangi. Berbincang dengan perangkat sekolah, berpapasan dengan siswa-siswi. Dengan mata sipit, warna kulit kuning langsat, dan rambut lurus, mudah untuk mereka mengetahui bahwa aku tidak punya dominansi gen orang Indonesia timur. Biasanya obrolan selalu dimulai dengan pertanyaan seperti ini:

Asalnya darimana? Cina ya? Agamanya apa?

Pertanyaan dilontarkan dengan sangat santai. Nampaknya hal ini sudah lumrah ditanyakan. Sewajar menanyakan ‘apa makanan kesukaanmu?’ atau ‘apa warna favoritmu?’. Pertanyaan yang menarik untuk mengawali pembicaraan dengan orang baru, bukan?

Menarik buatku karena Aku belum pernah mendengar pertanyaan seperti ini dilontarkan selama aku tinggal di Jakarta. Aku pun tidak pernah berpikir untuk menanyakan agama maupun ras orang yang baru Aku kenal. Aku dibesarkan di lingkungan yang menganggap pertanyaan semacam itu adalah tabu. Saat ini isu agama, suku, dan ras seperti bara dalam sekam yang siap mencuat kembali jika disingkap. Kalau dipikir-pikir lagi, pertanyaan tersebut hanya bisa dirasa mengusik dan membuat kita mengernyitkan dahi justru jika kita intoleran. Ya, nggak?

Aku menjawab.

Aku lahir dan besar di Jakarta. Keturunan Cina. Aku Katolik.

Dan tidak ada yang berubah. Obrolan tetap mengalir. Bahkan hadir pula kue-kue kecil yang menemani obrolan kami. Menyenangkan. Percayalah, mereka tidak bertanya untuk mengusili ranah pribadi kamu. Mereka bertanya untuk bisa memposisikan diri dengan lebih baik dalam melayani kamu. Mungkin kalau Aku menyatakan diri sebagai Muslim, aku tidak akan disuguhi makanan siang-siang begini, mengingat kita sudah memasuki bulan puasa. Tapi jangan sembarangan melontarkan pertanyaan yang sama di wilayah yang berbeda, ya. Kita masih belajar. Ada yang sudah toleran seperti Bapa dan Mama yang melontarkan pertanyaan tadi, tapi ada yang masih berjuang.

Perilaku intoleran yang mungkin dilihat atau didengar oleh anak dari hari ke hari membuat toleransi menjadi hal penting yang perlu diajarkan kepada mereka. Lewat buku-buku cerita berkualitas yang disalurkan Taman Bacaan Pelangi, kami ingin turut serta merawat toleransi dengan membantu mengenalkan konsep perbedaan dan keragaman pada anak-anak sejak dini. Anak yang terbuka terhadap perbedaan memiliki kompetensi sosial yang lebih baik di dalam masyarakat majemuk. Meski toleransi harus diajarkan di setiap kesempatan dalam kehidupan sehari-hari, buku bisa menjadi alat untuk orangtua memulai percakapan mengenai perbedaan dan keberagaman dengan si kecil.

Tulisan ini dibuat sebagai pengingat bahwa masih ada orang-orang yang menghargai perbedaan tapi tidak membeda-bedakan. Ini hadiah untuk kalian yang masih setia merawat keberagaman dengan toleransi. Terima kasih!

Salam,

Cindy